Getar angin senja membuih tulang
rusukku, sebenarnya aku tak begitu nyaman berada dalam ruang senja, apa sih
hebatnya?.....mungkin jawaban objektif kukembalikan pada pemuja senja, dimana
mereka selalu setia merangkul aroma dan nuansanya dan dengan begitu
kesempurnaan buatku menikmati ruang fajar, dimana kerap kugantungkan ole-ole
harapan sebelum senja membenamkan diri bersama malam.
Sehabis kuliah, aku kembali kerumah melanjutkan kuli….ah, karena di Jakarta untuk
hidup, nafas saja tak cukup. Begitulah kiranya jawabanku ketika beberapa teman
kuliahku mempertanyakan soal hidupku dan kehidupanku, bohong jika aku sesibuk
orang-orang besar yang kerap tidak tau apa arti ‘kesibukan’ itu sendiri bagi
mereka? Karena bagiku kesibukan kerja adalah kesibukan hiburan, kesibukan
kuliah adalah kesibukan liburan, bagaimana tidak? ketika kerja aku masih bisa
pesbukan dan ketika jam kuliah masuk aku dan kawan-kawan sefemikiran denganku malah lebih memilih nongkrong disamping kampus
hijau daripada mengikuti jam kuliah yang
membosankan. Tongkrongan kami bukan berarti tongkrongan mahasiswa yang
menghamburkan biaya orang tua, karena secara latar ekonomi orang tua aku dan
beberapa kawanku jelas tidak mampu membiayai, bagaimana jalan kami untuk
menghamburkan biaya? untuk duduk dibangku kuliah itu sendiri bisa jadi batu
loncatan keyakinan dalam mengemas doa untuk sebuah mimpi dan harapan Seperti hujan
yang mengejar kabut hitam, dikisaran biaya pendidikan yang mahal kami hanya
mengandalkan mental dan keyakinan, selebihnya Tuhan masih hidup dan tongkrongan
kami bukan juga termasuk tongkrongan
mahasiswa berpakaian intelek, bicara soal teori-teori mata kuliah sebebelum mereka masuk jam Kuliah dan
menjadi budak-budak dosen, bicara soal
praktek mata kuliah sebelum mereka menjadi orang besar dan mereguk uang rakyat,
atau bicara teori dan sambil peraktek sebelum mereka mencuri harga diri bangsa.
Jauh lebih bermakna daripada itu tongkrongan kami adalah tongkrongan itu
sendiri, ngopi, ngerokok, ngobrol, tertawa hanya itu..adapun jika suasana
membawa kami untuk berdiskusi, kamipun berdiskusi , pembicaraan kami biasanya
diawali dengan pembicaraaan soal anggota pejabat sampai mengalir tanpa arah dan
tujuan berbicara anggota pejabatpun sampai juga pada pembicaraan anggota tubuh
wanita, semuanya terjadi begitu saja, kerja alam bawah sadar kerap membius kami
yang pada akhirnya ada saja sesuatu yang menjadi bahan tertawaan. aku seperti
biasa lebih memilih menjadi dalang setelah ada seseorang sahabat di antara kami
yang mulai mengangkat tema kepermukaan, sebut saja namanya Mas Das, dia salah
satu dari temanku yang terus giat mendalami pengetahuannya tentang politik,
nyaris setiap kabar yang berkaitan dengan politik rasanya aku dan kawan-kawan
tak perlu melihat berita di televisi atau membuaka Detik.com, Mas Daslah yang
seolah menjadi wajah politik muda Indonesia, gaya bicaranya sangat meyakinkan,
nyaris setiap kata-kata yang lahir dari mulutnya sayarat dengan tips dan trik,
sesekali kerap kusebut dia adalah korban ideologi organisasai dimana segala
sesuatunya sesak dengan pendoktrinan, hal yang paling tidak kusukai, memuji
kawan mencaci musuh itu menjadi inti dari organisasi yang kerap membantalgulingkan
kebersamaan,pengalaman dan lain-lain.
Mas Das, satu diantara kawanku yang paling eksotis meskipun kebersamaanku
dikampus hampir seratus persen lebih banyak berbincang dengan pemuja wanita,
sebut saja namanya Mas Dim, Hal yang wajar jika dia bicara soal wanita,
jawabannya bisa kubaca dari parasnya, ganteng itu pasti kuakui meskipun aku
laki-laki. Mas Dim nyaris setiap kumpul denganku dan beberapa kawanku yang
lainnya kiranya tak adalagi pembicaraan yang indah selain berbicara soal
wanita, wanita seolah menjadi sarapannya, dirumah, dikampus, dijalan, ditempat
tongkrongan atau bisa jadi wanita masih hinggap diotaknya ketika dia berak di
wc umum, wc kampus atau di wc masjid.....................................(Mas AR, Mas Al, Mas Man) kalian pasti kena juga, ini kado istimewa buat kalian nanti kulanjutkan....ngantuuuukkk




0 komentar:
Posting Komentar