Jumat, 11 November 2011

TAK ADA JAWABAN

Hujan deras sore tadi
Stasiun Gambir mulai sepi
Laju kopaja menggilas lubang becek kota mati
Tak ada suara bising atau kecres tutup limun para pengemis
Yang kusaksikan ketika hujan reda tinggal gerimis mengiringi tangis
Wanita setengah tua yang mengais karung berisi buntalan pakaian, entah mau kemana?
Lampu senja mulai menyala, bintik magrib berkabut tak biasanya ditengah kota Jakarta;
Dengan sedikit sungkem pada wanita itu aku bertanya; Ibu mau kemana?
Dia menatapku, aku senang karena tatapannya menandakan dia mersakan adanya aku
yang sedang bertanya,
namun pertanyaanku dihiraukannya.
Tangannya yang kriput dan helai tangan panjang kemejanya nyaris menutupi lima jarinya,
hanya sesekali aku melihat kepalan tangannya ketika tersingkap waktu menggapai-gapai bis kota, kopaja, avanza, bahkan speda motor yang terlintas didepannya dia hentikan.
Aku rasa dia itu memang orang gila yang biasa berkeliaran di tengah kota
sebab sesekali wajahnya berkerut seolah rasa takut mengerucut diwajahnya.
Bakan dia kentut dan seoalah merasa aku tidak terganggu dengan kentutnya
yang disaat seperti itu begitu menyebalkan,
bagaimana tidak?
Sura kentutnya yang lantang nyaris membiusku yang berada sama berdiri disampingnya.
karena hidungku tak tahan menghirup udara lain selain polusi yang sempat terhenti karena basuhan hujan akupun mulai berniat menjauhinya.
Kira-kira tujuh langkah kaki meninggalkannya dia memanggilku
" hey anak muda putra bangsa" 
Belum sempat aku membalikan badanku hatiku bergetar dan tersontak kaget dengan panggilan yang sebelumnya belum pernah kudapatkan.
Aku tau panggilannya barangkali panggilan asal-asalan
tapi disisi lain aku bertanya kenapa "harus putra bangsa"?
Seiring menatapnya kembali aku belum sempat melangkahkan kaki,
jauh diluar dugaanku kali ini wanita itu yang menghampiriku.
Dekat sekali jarak wajahnya pada wajahku
seperti sepasang kekasih yang hendak menikmati cumbuan pertama.
Kali ini wanita itu memegang pundakku dan kurasa sedikit menekankan cekukan lima jarinya
yang kurasa dingin sekali dan terlontar dari bibirnya;
"Saya Ibumu" ungkapnya sambil lebih menekankan tangannya,
sementara dadaku terus bergetar penuh segala tanya
dan ketika bibirku bergetar terlontar balik tanyaku pada wanita itu yang justru diluar segelumit pertanyaan dalam pikiranku yang tertunda untuknya
"Ibuku?"
Dia sedikit tersenyum dan berkata; "Ibu Pertiwimu" jawabnya membingungkanku.
Tanpa kembali bertanya atau mempertanyakan penegasan jawabannya
aku merundukan kepala dan kulihat kakinya berdiri tegak tak menandakan wanita yang kelelahan sedikitpun meskipun dengan sandal jepit bertali merah sedang warna putih yang dihalangi telapak kakinya kurasa sudah memudar
dan dikisaran rundukankanku tangannya memegang kepalaku percis seperti orang yang hendak merukyah atau tak ada bedanya dengan orang yang mau praktek belajar hipnotis. wanita itu berkata;
"Bersumpahlah Untuk Menginjak Bumi Ini seperti Sandal Jepit Yang Ku Injakan dan kau Lihat".
Ingin ku tegakkan kepalaku melihatnya namun suaranya cukup keras menekan batinku yang masih terkatung-katung penuh teka teki dihadapannya.


(Jakarta Wahyudi/ Yud 09/11/11)

0 komentar:

Posting Komentar

 
;