Mula-mula sajak dibaca, isinya diresapi, dihayati dan dinikmati. kemudian sajak disuarakan, disertai gerak, mimik didepan orang lain. selanjutnya sajak dipentaskan, disertai dekor, tata suara, tata cahaya untuk menyampaikankandungannya lebih lengkap kepada orang lain.
Puisi merupakan sari pemikiran berdasarkan pengalaman dan penghayatan tentang hal-ikhwal kehidupan. oleh karena itu puisi memberikan pengetahuan dan kearipan kehidupan. membaca dan meresapi puisi berarti menyelami makna kehidupan. demikian pula mendengarkan puisi dibacakan dan melihat puisi dipentaskan, memperkaya batin pendengar dan penonton serta menggiatkan imajinasinya. W.S Rendra mendendangkan cintanya yang dalam kumpulan puisi Balada Orang-Orang Tercinta, terlebih Rendrapun bersikap Konsisten sebagai penyair yang terus menerus menyuarakan nurani masanya untuk mengkritik pemerintah dan hal seperti ini menandakan bahwa Rendra tidak hidup diruang kosong, kepekaannya terhadap ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi bahkan politik turut mempengaruhi kepenyairannya, sekaligus membuktikan diri sebagai manusia yang hidup ditengah masyarakat dengan segala permasalahannya. dalam sajak-sajaknya Rendra memuji kebesaran Tuhan, dan Rendra mencari nilai-nilai kehidupan dengan menyelusuri perjalanan hidup yang tidak serta merta dijadikan Tuhan tanpa tujuan. selain itu Rendrapun berbicara lantang mengenai program pendidikan, Sosial, Ekonomi, dan tak segan-segan membentur para petinggi negara dengan sajak-sajak kritiknya, meskipun Rendra tidak hanya menulis puisi tapi dia lebih dikenal karena puisinya yang kerap kali dia bacakan secara langsung, Awalnya Rendra pada akhirnya penyair (Goenawan Muhammad).
Penyair melihat kebangkitan negara-negara dunia ketiga yang menjadi merdeka dari belenggu penjajahan, berpacu mencari kemajuan teknologi, tetapi kembali terjerat dalam penjajahan baru bernama hutang, kemiskinan, pengangguran, ketidak adilan,bantuan pinjaman dan lain-lain. lantas terlontar sebuah pertanyaan: Dimana sebenarnya kita?
Harga diri kita?
Harga diri kita?
Kini berada diabad teknologi yang serakah, komputer dan laptop dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, bukan lagi sukma dan kalbu. kita telah lama kehilangan diri, semua kerja dan pengabdian dihitung dengan uang, barang lebih berharga daripada manusia, manusia tidak lagi mendapatkan nilai-nilai kemanusiaannya karena perlahan untuk memanusiakan manusia ditopangi oleh embel-embel kekuasaan serta kepalsuan oleh karena itu laksana maharesi abad teknologi, Sampai Kapan? apakah hal ini akan terus terjadi sampai kita mati tanpa mendapatkan tanah kuburan?
(Yud, Jakarta 30/04/11)



0 komentar:
Posting Komentar